Entah mengapa hari ini hatiku terasa sangat 'melow.' Mungkin terlalu lelah fisik, mungkin juga sedang lelah pikiran. Karena beberapa ujian akademik datang diwaktu hampir bersamaan. Kalau beberapa tahun silam ketika beberapa teman bertanya mengenai saya yang tak pernah terlihat lelah dalam bekerja maupun belajar, belakangan ini mulai teras ada perbedaan. Terutama sejak wafatnya kawan baikku Adjie Massaid suami si cantik-cerdas Angelina Sondakh.
Mulai terasa betapa tidak pentingnya 'memelihara' ego' cita-cita dan ideologi. Mulai terasa kebutuhan transendental yang kuat menyeruak. Mulai terasa ingin "meneriakkan Allahu Akbar" sekeras-kerasnya dan sebanyak-banyaknya. Mulai terasa betapa sebagian besar waktu dimasa lampau hanyalah 'permainan' serta sandiwara kehidupan. Mulai terasa betapa keakraban cinta antar saya dan suami kembali lagi seperti masa 25 tahun silam--kini kami tak bisa tidak mengirim sms setiap setengah jam sekali bila saya atau suami sedang diluar kota dan sedang tidak bersama-sama.
Hidup yang singkat ini seharusnya sejak dahulu diisi dengan lebih banyak lagi bahasa kasih, kepada siapapun juga tanpa terkecuali.
Pernikahan Adjie-Angie yang sangat singkat menyentakkan saya, yang saat pemakaman Adjie kemarin itu saya sedang berada diruang operasi Rumah Sakit The Premiere Bintaro (dulu RSIB) karena suatu hal dibagian rahimku. Ikangku tercinta tak beranjak walau sekejap diruang operasi. Dokter SPOG Rudianti (mbak Antie) adalah saksi bersatunya cinta kami dalam suka dan duka.
Betapa waktu yang pernah hilang sudah saatnya kembali dihangatkan, diwangikan, dimerdukan kehadirannya.
Ekspresi cinta toal Angie terhadap Adjie adalah inspirasi pernikahan bagi perempuan artis seluruh Indonesia. Bukan sekedar karena Angie adalah seorang 'media darling', yang terbukti memang mumpuni dibidang pengelolaan komunikasi politik sesuai bidang akademik yang digelutinya dari FISIP-Kom UI. Namun saya merasakan getaran ketulusan kasih luar biasa yang memang embeded dalam kehidupan sehari-hari Angie dalam berumahtangga dengan Adjie MAssaid.
Bidadari Angelina Sondakh adalah contoh" bahasa kasih hidup" bagi pribadiku hari ini.
Dulu saya pernah menolak tawaran untuk masuk partai biru partainya suamiku. Karena memang setelah 'diusir' dari rumah merahku dulu, setelah hampir dua tahun tak berpartai saya memilih partai hijau sesuai dengan garis nenek moyang Jawa Timuranku dari Madura.
Melalui adinda Ichwan Siregar dari grup JPNN/Non-Stop yang ditugasi ngepos di DPR RI oleh kantornya, Pak Soetrisno Bachir khusus memintaku bergabung dengan partainya. Sekalian menemani suami kata Ichwan meneruskan kalimat Pak Tris. Tentulah dengan berat hati saya tidak mungkin menerima tawaran beliau, karena seminggu sebelumnya saya baru dilantik menjadi kader partai hijau. Ketum partai hijauku malah saat itu insist meminta Ikang Fawzi suamiku bergabung dengan partainya. Sayangnya saat itu kami memang masih kukuh berprinsip dalam berumah tangga dan dalam berideologi-partai 'demokratis-demokratis sajaaa...'
Kini diusia yang sudah tidak muda lagi, saya hanya ingin berada berdua suamiku lebih lama. Dalam kualitas pertemuan yang lebih intens dan lebih banyak lagi. Bahkan saya pribadi bersedia untuk tidak lagi bergabung dengan partai manapun juga bilamana Ikang Fawzi suamiku meminta saya hanya mengurisi dirinya serta anak-anak.
Saya pribadi tidak ingin menyesal... karena telah lalai "mendengarkan kata hati" serta keinginan terdalam seorang suami--yang sesungguhnya permintaannya sangat sederhana. Yaitu, ingin diurusi dengan lebih total oleh sang istri ...
Maafkan saya My Love... maafkan... from the bottom of my heart, please accept my apology... terimakasih banyak untuk semua cinta, kasih, serta sayang yang telah diberikan untuk saya dan anak-anak...
I love you so much!
Tangsel, 6 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar